INDOPOLITIKA.COM- Hari Pers Nasional seyogianya menjadi momentum yang mengingatkan para jurnalis dan institusi pers agar produk jurnalistik tetap menjadi acuan masyarakat dalam melawan berita bohong atau hoax yang bisa berujung pada perpecahan bangsa.
“Jurnalisme juga dituntut untuk menyajikan informasi dan komunikasi yang kredibel, bermanfaat, dan berkualitas di tengah perkembangan teknologi yang menghadirkan informasi cepat antara lain melalui media sosial,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam menyambut Hari Pers Nasional (HPN) di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Tahun ini peringatan HPN dipusatkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang rangkaian peringatannya digelar 7- 9 Februari 2020.
Menurut Lestari yang akrab disapa Rerie, media sosial kerap digunakan untuk penyebaran hoax. Mengutip data Kominfo terdapat 1.731 hoax selama Agustus 2018-April 2019, terdiri atas 620 hoax politik, 210 hoax pemerintahan, 200 kesehatan, 159 finah dan 113 kejahatan.
“Bahkan ada kecenderungan informasi hoax mengarah ke politik identitas yang bisa berujung pada perpecahan bangsa. Pada kondisi seperti itu, pers harus mengambil peran sebagai perekat dan pemersatu bangsa lewat berita-berita yang akurat, kredibel dan menyajikan sudut pandang yang mendorong persatuan,” ungkap Rerie.
Karena itu, menurut Rerie, pers wajib menghasilkan karya jurnalistik yang layak digunakan untuk memverifikasi berita yang beredar di masyarakat.
“Pada kondisi dimana berita terus menerus diproduksi setiap saat, baik bersumber dari media sosial maupun media arus utama, krediblitas narasumber, profesionalisme jurnalisnya, dan akurasi data yang disajikan menjadi penentu apakah berita itu bisa dipercaya atau tidak,” ujar Rerie.
Pada kesempatan tersebut, Rerie juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan.
Mengutip hasil monitoring Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), mayoritas kekerasan terhadap jurnalis jarang berakhir di pengadilan. Meski ada faktor keengganan dari jurnalis karena kurangnya dukungan perusahaan, faktor terbesar adalah praktik impunitas yang terus berlangsung bagi pelakunya.
AJI mencatat, ada 53 kasus kekerasan yang menimpa wartawan atau jurnalis hingga 23 Desember 2019. Pada 2018 ada 64 kasus kekerasan terhadap wartawan.
Kasus kekerasan masih didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus. Setelah itu, diikuti perusakan alat atau data hasil liputan sebanyak 14 kasus, ancaman kekerasan atau teror sebanyak enam kasus, pemidanaan atau kriminalisasi sebanyak lima kasus, dan pelarangan liputan sebanyak empat kasus.
Melihat fakta tersebut, Rerie meminta pemerintah untuk menjamin kebebasan pers, sehingga kasus kekerasan serupa tidak terulang.
“Selain itu proses penegakan hukum dalam kasus kekerasan wajib dituntaskan, sehingga menimbulkan efek jera,” tegasnya.[pit]