Din Syamsudin: Ada Indikasi Kediktatoran Konstitusional dalam Kehidupan Bernegara

  • Whatsapp

INDOPOLITIKA.COM – Peristiwa ancaman terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (CLS FH UGM) beberapa waktu menimbulkan banyak tanggapan.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Din Syamsuddin menegaskan, jika akademisi, yang seharusnya memiliki kebebasan berpendapat, justru dibungkam, maka sama saja terjadi pembodohan kehidupan bangsa. Menurut Din, tindakan itu bertentangan dari visi Pancasila.

Muat Lebih

“Ketika visi tentang Pancasila, apalagi yang termaktub di pembukaan UUD 45, kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman kegiatan-kegiatan akademik, pemberangusan mimbar akademik, itu sebenarnya bertentangan secara esensial dengan mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Din dalam diskusi virtual bertema ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, Senin (1/6/2020).

Selain itu, Din juga beranggapan bahwa belakangan terdapat indikasi kediktatoran konstitusional dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia.

“Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun constitutional dictatorship, kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi, seperti ada produk Perppu menjadi UU dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain,” jelas mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini.

Maka dari itu, lanjutnya, reaksi berupa kritik dari masyarakat wajar untuk bermunculan karena sang pemimpin dinilai tak lagi memiliki kemampuan untuk memimpin.

“Dan juga kemudian menimbulkan ghairu syaukah, istilah Imam Ghazali itu, tidak ada lagi political power, political leverage, bukan lagi dapat memimpin, dan oleh karena itu masyarakatnya akan mengkritik,” jelas Din.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Aidul Faitriciada Azhari mengecam tindakan teror oleh oknum tertentu, terhadap penyelenggaraan diskusi ilmiah yang digelar oleh Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum UGM. Terlebih pelaku teror sampai mencatut nama organisasi Muhammadiyah Klaten dalam ancamannya.

Aidul menyebut, kejadian itu menunjukkan situasi yang membahayakan bagi negara Indonesia. Sebab masalah timbul hanya karena sebuah pendapat.

“Hanya karena pendapat kemudian berujung pada ancaman pembunuhan, ini satu hal yang saya melihatnya sangat membahayakan masa depan kita bersama,” kata Aidul

Sejatinya, kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara sebenarnya sudah diatur UUD 1945. Seperti dalam amandemen UUD 1945 Pasal 28 E Ayat 3 yang menyebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Selanjutnya, Pasal 28 I Ayat 1 yang menyebut, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal itu, dia menegaskan, juga meliputi dalam konteks saat pandemi Covid-19 saat ini.

Menurut Aidul, dalam kehidupan di tengah pandemi Covid-19, masyarakat banyak mengalami pembatasan hak. Misalnya, hak untuk bepergian serta hak untuk berkumpul. Meski begitu, hak untuk menyatakan pendapat tidak bisa dibatasi.

“Dalam keadaan apapun, hak untuk menyatakan pendapat tidak bisa dikurangi, pikiran tidak bisa dibatasi, pikiran juga tidak bisa dipenjara dan tidak ada pengadilan terhadap pemikiran,” ujarnya.

“Semua orang boleh berpendapat pikiran hanya bisa dilawan dengan pikiran lagi, bukan dengan jeruji besi bukan dengan intimidasi bukan dengan represi. Dalam konteks ini sebenarnya kita harus melawan setiap hal atau setiap upaya yang berusaha membatasi pemikiran, membatasi pendapat.” tambahnya. [rif]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *