INDOPOLITIKA.COM – Dosen tetap di Monash University Australia yang juga penulis dan komentator untuk isu-isu seputar sistem pemerintahan/hukum tata negara, politik dan keagamaan, Nadirsyah Hosen atau akrab disapa Gus Nadir melayangkan kritikan tajam soal gaya komunikasi Presiden Jokowi maupun para menterinya terkait kelanjutan nasib eks ISIS. Apakah akan dipulangkan atau tidak.
Menurut pengampu mata kuliah Pengantar Hukum Islam dan Hukum Asia Tenggara itu, sikap pemerintah dilihat dari komunikasi publiknya soal WNI eks ISIS ini sangat buruk.
“Hal itu dilihat, pertama, dimulai dari pernyataan Menteri yang sehari sebelumnya kemudian meralat penyataannya sendiri. Pernyataan Menteri yang beropini secara pribadi, sampai Presiden pun bicara opininya secara pribadi. Secara pribadi, Jokowi menolak. Namun sikap resmi pemerintah masih akan dibahas di rapat terbatas. Gawat kan?,” kata Gus Nadir melalui keterangan tertulisnya, Jumat, (7/2/2020).
Pejabat selevel Menteri dan Presiden, lanjut penulis buku best seller ‘Islam yes Khilafah No” itu, harus mampu membedakan antara opini pribadi dengan kebijakan pemerintah. Yang diinginkan publik adalah mesti jelas siapa pejabat yang berwenang memberikan pernyataan ke publik, jangan sesama pejabat pemerintah saling sahut atas dasar sikap atau opini pribadi.
“Mereka pejabat tapi bersikap seperti pengamat. Kalau belum ada keputusan resmi dari pemerintah, pejabat baik Menteri atau Presiden jangan melempar opini ke publik. Lebih baik satu suara: masih kami kaji. Selesai. Tidak perlu menyatakan opini pribadi mereka ke publik,” kritiknya.
Lanjut Gus Nadir, akan sangat berbahaya ketika seorang pemimpin membenturkan pendapat pribadinya dengan proses pengambilan kebijakan. Jikalau sikap pribadi Presiden yang terlanjur disampaikan ke publik ternyata berbeda dengan hasil rapat terbatas kabinet, publik akan bertanya-tanya akan leadership dari Presiden.
“Kenapa Presiden tidak bisa menjadikan sikap pribadinya sebagai sebuah kebijakan pemerintahan yang dia pimpin? Siapa yang mengendalikan Presiden? Pertanyaan nakal itu akan muncul di publik akibat komunikasi politik yang buruk ini,” urainya.
Dengan komunikasi yang seperti ini, Presiden juga bisa dinilai mengambil ancang-ancang untuk mencari selamat sendiri. Sikap pribadi Jokowi mungkin sesuai dengan keinginan publik. Tapi boleh jadi kebijakan resmi pemerintah tidak disukai publik.
“Presiden bisa cuci tangan dari kritikan. Ini berbahaya. Akan ada ketidakpercayaan para pembantu Presiden bahwa kebijakan yang diambil bisa bertentangan dengan sikap pribadi Presiden. Anak buah di lapangan jadi ragu mengeksekusi sebuah kebijakan,” bebernya lagi.
“Sekali lagi Presiden tidak boleh berwacana pribadi. Beliau bukan pengamat. Beliau seorang pemimpin bangsa,” imbuhnya.
Selanjutnya, kata Gus Nadir, ini yang penting, yaitu langkah yang tepat bagi pemerintah untuk menangani WNI eks ISIS seperti apa? Paparkan secara jelas dan transparan di publik, apa kebijakan resmi pemerintah melalui satu pintu-satu suara.
“Misalnya, jika menolak kepulangan WNI eks ISIS, paparkan argumentasi dan alasannya secara konkrit, dan apa langkah pemerintah berikutnya menghadapi konsekuensi pilihan ini,” tegasnya.
Jikalau menerima kepulangan WNI eks ISIS, paparkan apa rencana strategis pemerintah terhadap mereka. Mereka mau dikarantina di mana, apa program deradikalisasi yang akan dilakukan, berapa lama, siapa penangungjawabnya, apa sudah dihitung risiko dari keputusan ini, dst dst nya.
Jadi, kata Gus Nadir, bukan sekadar berwacana mereka boleh pulang atau tidak, tapi apa pemerintah punya rencana yang jelas apa yang akan dikerjakan?
“Menghadapi eks teroris saja pemerintah kelimpungan. Mengurusi eks HTI saja gak jelas sikap pemerintah, bagaimana rakyat bisa diyakinkan bahwa pemerintah punya rencana yang serius, strategis dan taktis menghadapi eks ISIS. Ini tantangan terbesarnya,” tutupnya.[asa]