INDOPOLITIKA.COM – Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing berpandangan harus ada penelitian dari luar terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar sistem pemilu bersih dari praktik suap.
Hal itu dilakukan, menyusul terjadinya kasus operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan atas dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) caleg DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Menurutnya, penelitian itu bukan untuk kepentingan hukum. Akan tetapi agar lembaga penyelenggara pemilu ke depan berjalan dengan baik. Sehingga akan menghasilkan pemilu yang berkualitas.
Kata Emrus, tidak bisa dilakukan sendiri oleh KPU karena kemungkinan KPU itu tidak mengetahui sisi lemahnya. Hal itu akan diketahui oleh pihak luar yang melihatnya.
“Analoginya sederhana. Kalau rumah itu kotor, penghuni di rumah itu akan mengatakan rumahnya bersih karena sudah terbiasa dengan keadaannya seperti itu. Jadi, yang melihat rumah itu kotor maka untuk membersihkannya harus dari luar. Oleh karena itu, KPU Pusat kalau ingin memperbaiki KPU secara keseluruhan, maka berikan kesempatan itu, misalnya kepada peneiliti untuk membongkar apa yang terjadi di tubuh KPU,” ujar Emrus, Minggu (12/1/2020).
Menurut Emrus, metode penelitian bisa dilakukan dengan melakukan interview kepada seluruh anggota KPU dari tingkat pusat hingga daerah. Baik itu masih aktif maupun yang sudah habis masa jabatannya.
“Kemudian, kepala-kepala daerah maupun legislataif yang sudah habis masa jabatannya. Mereka yang sudah ada di penjara, pernah dipenjara, pegawai KPU ASN-nya semua diinterview. Dengan demikian semua akan terbongkar. Namun kerahasiannya tentunya harus dilindungi. Karena itu bukan untuk kepentingan hukum. Outputnya nanti bisa berupa UU atau berupa peraturan KPU dan sistemnya dibangun,” kata Emrus.
Sementara itu, dari sudut partai politik, Emrus berpendapat agar partai pemenang pemilu untuk memperbaiki partai itu sendiri. Kalau pun ada pergantian antar waktu (PAW) seharusnya diganti oleh suara terbanyak.
“Misalnya, si A suara terbanyak menjadi anggota DPR karena sesuatu hal, misal meninggal maka digantikan oleh suara kedua terbanyak yaitu si B, dan seterusnya. Jangan cawe-cawe lagi. Kenapa diberikan kepada suara terbanyak, ini menyangkut kedaulatan rakyat,” tandas direktur eksekutif Emrus Corner ini.
Emrus menambahkan, bila PAW itu diberikan kepada suara ketiga atau keempat berarti menciderai kedaulatan rakyat. Suara ketiga baru dapat setelah suara kedua tidak bisa atau berhalangan.[ab]