INDOPOLITIKA.COM – Indonesia pada 2018 silam menandatangani nota kesepakatan dengan Rusia terkait pembelian jet tempur Sukhoi SU-35 yang jumlahnya mencapai 11 unit. Namun sayangnya, ada beberapa hal yang membuat proses distribusinya terhambat. Mulai dari perkara imbal dagang, sampai ancaman yang dilayangkan Amerika Serikat.
Tarik ulur soal Sukhoi SU-35 akhirnya membuat Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto nampak tak sabar. Ketika berkunjung ke Perancis beberapa waktu lalu, ia kabarnya melakukan perundingan terkait kemungkinan Indonesia membeli jet tempur Rafale Dassault sebanyak 48 unit.
Secara kualitas, Rafale yang ditaksir Prabowo memang lebih baik ketimbang SU-35. Sebab, pesawat Rusia itu merupakan unit ‘tua’ yang lahir di generasi sama dengan F-14 Tomcat milik Amerika Serikat.
Sementara Rafale yang pertama dikenalkan pada 2001, telah melalui sederet pembaruan hingga generasi empat plus, alias hampir setara lima. Rafale diketahui terlibat dalam banyak misi sejak digunakan oleh angkatan bersenjata Perancis.
Melansir Dassault Aviation, Angkatan Udara dan Laut Perancis telah melibatkan Rafale dalam serangkaian misi di Afghanistan sejak tahun 2006 hingga 2011. Dalam misi itu, Rafale menunjukkan kemampuannya sebagai jet tempur yang handal.
Pada tahun 2011, Rafale juga terlibat dalam misi yang dilakukan angkatan bersenjata Perancis di Libya.
Selain itu, Rafale juga melakukan pengintaian, pengawasan, Tactical Acquisition and Reconnaissance (ISTAR), Strike Coordination And Reconnaissance (SCAR).
“Selama konflik Libya, ratusan target seperti tank, kendaraan lapis baja, penempatan artileri, tempat penyimpanan, pusat komando dan sistem pertahanan udara (SA-3 Goa dan SA-8 Peluncur Gecko fixed dan mobile SAM) dipukul dengan akurasi yang menghancurkan oleh kru udara Rafale,” tulis laman Dassault Aviation.
Melansir TheDefensePos, Rafale juga sempat melancarkan serangan udara ke terowongan bawah tanah kelompok ISIS di Irak pada Oktober 2019. Tindakan yang dilakukan oleh Rafale merupakan bagian dari misi koalisi sejumlah negara melawan ISIS di Irak dan Suriah yang bernama operasi Chammal.
“Operasi ini dilakukan bersama dan dikoordinasikan dengan elemen lain dari Koalisi internasional. Tujuannya adalah untuk menghancurkan beberapa terowongan yang digunakan ISIS untuk mengirim logistik dan militernya di wilayah ini, ” kutip rilis angkatan bersenjata Perancis.
Rafale diketahui jet tempur multifungsi karena mampu berpangkalan di daratan maupun kapal induk. Mengutip Aircraftcompare, harga satu pesawat ini mencapai US$115 juta atau setara dengan Rp1,5 Triliun.
Selain itu, Rafale juga memiliki fitur khas jet tempur generasi kelima, yakni sistem Thales RBE2 berjenis passive electronically scanned array (PESA) yang bisa melacak keberadaan lawan melalui pertarungan jarak dekat. Sedang sistem radar milik SU-35 sebenarnya tak mengecewakan, sebab sudah terpasang sistem berbasis antena array bertahap.
Di sektor persenjataan, keduanya hampir setara. SU-35 mengandalkan kanon internal Gryazev-Shipunov GSh-30-1 dengan 150 peluru, sementara Rafale menggunakan GIAT 30/719B cannon dengan 125 peluru.
Hanya saja, di bagian peledak, jet tempur Perancis lebih baik lantaran dibekali rudal jelajah nuklir ASMP-A, peledak yang telah terintegrasi dengan laser, serta perangkat tembak cadangan yang tersembunyi di dalam tubuh pesawat.
Selain menggempur musuh di udara, Rafale juga mampu menarget musuh di permukaan darat dengan peralatan mereka bernama alat intai Thales Optronics’s Reco New Generation dan juga Damocles electro-optical. Fitur tersebut agaknya lebih baik ketimbang yang dimiliki SU-35.
Kendati punya banyak kelebihan, namun ada satu hal yang kurang dari Rafale, yakni soal kecepatan. Jet itu hanya mampu terbang pada 2.223 kilometer per jam, sedang Sukhoi SU-35 bisa mencapai 2.778 kilometer per jam.
Sejauh ini negara yang sudah membeli pesawat Rafale adalah India, Libya, Inggris, dan Swiss. [rif]