INDOPOLITIKA.COM – Komisi V DPR berencana akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketua Komisi V DPR, Lasarus mengatakan, revisi tersebut nantinya juga akan mengakomodir transportasi daring roda dua. Berdasarkan UU tersebut, kendaraan roda dua atau ojek online bukanlah bagian dari angkutan umum.
“Untuk roda dua memang dalam UU 22 Tahun 2009 disebutkan kendaraan roda dua bukan angkutan umum. Ketika dia menjadi angkutan umum, itu perlu diatur. Maka dari itu, kami akan merevisi UU,” kata Lasarus di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Politisi Fraksi PDI Perjuangan itu menjelaskan, revisi tersebut akan memperjelas tentang pendapatan, pengaturan pajak, termasuk hubungan kerja untuk transportasi daring.
Untuk itu, Komisi V DPR meminta Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI) membuat kajian-kajian sebagai masukan saat pembahasan nantinya.
“Supaya revisi yang kita lakukan bisa menyelesaikan masalah, saya minta dari PPTJDI melakukan kajian. Itu akan kami jadikan bahan dalam pembahasan UU,” jelasnya.
Diketahui, dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, transportasi daring sendiri belum masuk sebagai angkutan umum.
Di sisi lain, Ketua PPTJDI Igun Wicaksono meminta Komisi V DPR RI untuk melegalkan ojek online menjadi angkutan umum.
Menurut Igun, bila ojek online sudah legal, dia akan memberikan kepastian mengenai punggutan pajak. Igun menuturkan bahwa beberapa aplikator sudah melakukan pungutan pajak padahal dasar hukumnya belum ada.
“Sampai saat ini angkutan roda dua atau ojek online sendiri belum mendapatkan kepastian hukum. Untuk itu, kami berharap DPR bisa memberikan kepastian dan perlindungan melalui revisi UU 22/2019,” imbuhnya.
Dalam merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Komisi V DPR RI meminta Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI) untuk melakukan kajian mendalam terkait hal-hal yang perlu di atur dalam UU tersebut.
Anggota Komisi V DPR Mulyadi mengatakan salah satu yang harus dikaji ialah mengenai sistem aplikasi untuk menjalankan bisnis transportasi daring yang kian berkembang.
“Kita harus lebih luas melihat perspektif ini. Karena, bisnis transportasi berbasis aplikasi pada akhirnya akan membentuk ekosistem digital. Negara harus merespon ini dengan segera. Karena ekosistem digital tidak hanya berpotensi meningkatkan pemasukan negara, namun juga menjadi ancaman jika tidak diatur,” ungkapnya saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PPTJDI di Ruang Rapat Komisi V DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Legislator Fraksi Partai Gerindra itu mengatakan, perusahaan transportasi daring berbasis digital seperti ojek online dalam pelaksanaanya akan membentuk data yang potensi nilai bisnisnya besar. “Data besar dalam konteks ekosistem digital, di satu sisi menjadi potensi pemasukan negara namun di sisi lain akan menjadi ancaman jika negara tidak hadir mengaturnya,” katanya.
Mulyadi menganalogikan berapa banyak masyarakat pengguna aplikasi transportasi daring yang memiliki saldo di akun pribadinya, dan itu merupakan suatu urun dana. Penyedia aplikasi menikmati dana itu, dan masyarakat pengguna juga menikmati dana tersebut tanpa bunga.
“Negara harus melihat ini sebagai potensi pemasukan Negara, dan rekan-rekan (PPTJDI) harusnya mendapatkan keuntungan dari hal itu. Dalam kajian nya nanti, ekosistem digital ini, sekaligus mempunyai potensi pemasukan negara turut juga ancaman bagi bangsa jika negara tidak hadir,” lanjutnya.
Untuk diketahui, melalui situs resmi salah satu transportasi daring, pada bagian top-up dan pembayaran, ada penjelasan terkait pajak. Mitra pengemudi dikategorikan sebagai pegawai tidak tetap dikenakan pajak penghasilan (PPh) 5 persen bagi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bagi yang belum memiliki NPWP dikenakan PPh sebesar 6 persen.
Persentase PPh itu dihitung berdasarkan total pendapatan, dalam hal ini insentif atau bonus. Selanjutnya perusahaan menyampaikan keterangan berjudul ‘pemotongan pajak penghasilan (bulan)’ melalui aplikasi mitra. Penyedia layanan mengatakan, pungutan pajak itu sesuai dengan Peraturan Ditjen Pajak Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh.[asa]