INDOPOLITIKA.COM – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK menyebut pencucian uang melaui rumah judi atau kasiono merupkan modus baru. Sebelumnya, pencucian uang biasa dilakukan melalui penyedia jasa keuangan, seperti perbankan atau pasar modal.
Modus pencucian uang lewat kasino baru-baru ini mencuat dalam laporan refleksi akhir tahun PPATK 2019. Dalam laporan itu, PPATK menyatakan menelusuri transaksi keuangan beberapa kepala daerah ke rekening kasino di luar negeri. PPATK menduga kepala daerah menempatkan dana dalam jumlah Rp 50 miliar dalam bentuk valuta asing ke tempat judi
Menanggapi persoalan tersebut Pakar Hukum Pidana Money Laundry Universitas Negeri Jember Prof Arief Amrulah mengatakan, kasus pencucian uang melalui rekening kasino yang diduga dilakukan oleh kepala daerah, sejatinya dapat dicegah sedari dini. Yakni dari proses pendaftaran calon peserta Pilkada.
“Jadi upaya pengawasan itu bisa dilakukan oleh Bawaslu KPU. KPK juga bisa melakukan kerja sama dengan kedua lembaga tersebut. Oleh karenanya lembaga penyelenggara pemilu bisa menggandeng penegak hukum untuk menjalin kerja sama baik itu nasional maupun internasional, dari mana uang tersebut didapat,” ujar Arif melalui keterangannya, (24/12/2019).
Dengan demikian, lanjut Arief, kepala dearah dapat terdeteksi dini bila akan melakukan tindakan yang berakibat merugikan keuangan negara.
“Nah, dengan optimalisasi kinerja Bawaslu dan KPU yang mengawal proses Pilkada akan meminimalisir pergerakan kepala daerah yang akan melakukan tindakan korupsi. Artinya, pemberantasan korupsi itu dapat dicegah dari hulu. Bukan setelah terjadi tindakan baru dilakukan penanganan,” ucap Prof Arief.
Menurut dia, memberantas korupsi bukan hanya mengandalkan lembaga penegak hukum. Tapi sinergitas antar lembaga sangat dibutuhkan.
“Tidak kalah penting perlu adanya audit dana partai. Karena berapa besaran sumbangan dari luar harus dilaporkan. Dan ini tentu harus ada integritas dari partai tersebut. Berapa besaran dana yang diterima,” ujarnya.
Karena, modal yang diterima dari pihak luar sangat rentan melakukan praktik politik pesanan. Baik itu regulasi maupun kompensasi yang akan diberikan dari pihak partai yang menerima modal tersebut.
“Menurut saya, bukan hanya calon kepala daerah, bagi calon presiden juga harus dilakukan pengawasan yang sama. Dari mana aliran dana untuk membiayai proses pemilihannya,” sambung Arief.
Oleh karena itu, Arif meminta perlu adanya aturan yang ketat. Sehingga kepala daerah tidak lagi berfikir bagaimana mengembalikan uang yang dikeluarkan saat Pilkada maupun mencari keungtungan semata.
“Jadi, terpilihnya kepala daerah tidak lagi berdasarkan popularitas maupun banyaknya uang yang dimiliki. Tapi bagaimana seorang kepala daerah itu memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi dalam membangun daerah tanpa melakukan korupsi,” pungkas Arief.[ab]